Sunday 18 October 2015

KAJIAN KITAB HIKAM 3


Kang Ulil Abshar Abdalla menuliskan dalam fans page facebooknya ;




Bismillahirrahmanirrahim

Sebelum mulai ngaji Hikam, mari kita

hadiahkan al-Fatehah kepada pengarang

Hikam Syekh Ibn Ataillah, kepada ayah dan
guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya
Nyai Salamah.
Mari kita mulai ngaji Hikam seri yang ketiga.
----------------------------





NGAJI HIKAM #3
BISAKAH KITA MENEMBUS TEMBOK TAKDIR?

Syekh Ibn Ataillah berkata:

ُﻖِﺑﺍَﻮَﺳ ِﻢَﻤِﻬﻟﺍ َﺭﺍَﻮْﺳﺃ ُﻕِﺮْﺨَﺗ َﻻ ﺭﺍَﺪْﻗﻷﺍ
Sawabiq al-himam la takhriqu aswar al-aqdar.
Terjemahannya: Kehendak kuatmu yang sudah
engkau tetapkan lebih dahulu, tak akan bisa
melubangkan atau menembus tembok-tembok
kepastian (taqdir) yang sudah ditentukan
Tuhan.
Kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini bisa
dipahami secara awam, bisa juga secara
khusus/mistik.


Pengertian awam. Masalah takdir, kita tahu,
adalah masalah yang pelik. Bertahun-tahun
saya (baca: UAA) bergulat dengan konsep ini,
mencoba memahaminya. Baru sekarang, mulai
agak terang sedikit pada saya apa pengertian
takdir itu.

Orang modern biasanya mengidap semacam
“sindrom mental” yang ingin saya sebut
sebagai “promethean syndrome”. Promethues
adalah tokoh dalam dongeng Yunani yang
menggambarkan sosok yang percaya pada
kemampuan diri sendiri, kehendak bebas,
untuk mengubah sesuatu.
Dengan perkembangan sains dan teknologi
yang luar biasa dahsyat, manusia merasa bisa
melakukan apa saja. Dia merasa dirinya
sebagai “the creator of his/her own destiny”.
Dia bisa menjadi pencipta takdir dan nasibnya
sendiri.

Pengertian modern yang promethean semacam
ini tidak seluruhnya salah. Tetapi agama punya
perspektif yang berbeda. Mari kita dengarkan
perspektif “tradisional” agama seperti diungkap
dengan indah dalam aforisme (kata mutiara)
Ibn Athaillah ini. Kata dia: Ketetapan hatimu
untuk mengubah sesuatu tetap tak akan bisa
mengubah takdir.

Pernyataan ini seolah-olah berbau fatalistis,
menyerah kepada takdir, ketetapan Tuhan.
Benarkah? Saya mengatakan tidak. Percaya
kepada takdir tidak menafikan pentingnya
dimensi usaha pada manusia. Sebagai subyek
yang bisa bertindak, manusia tentu harus
memiliki kehendak untuk berbuat dan
mengubah sesuatu.

Tetapi usaha seseorang biasanya bertabrakan
dengan, kalau memakai bahasa sekarang,
“externalities”, kondisi-kondisi di luar yang tak
sepenuhnya ada di dalam kontrol kita. Contoh
terbaik: Pemerintah kita berusaha keras untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi
agar tercipta lapangan kerja bagi rakyat. Ini
namanya ikhtiar.

Tetapi ada kondisi eksternal, seperti situasi
ekonomi global, yang tak sepenuhnya ada
pada kontrol pemerintah. Keadaan domestik
memang relatif bisa dikontrol oleh pemerintah;
tetapi situasi global, jelas tidak. Sebab, itu
masuk dalam kawasan “externalities”, kondisi
luaran. Itulah, kira-kira, takdir.

Sekeras apapun kita berusaha, tetap ada
kondisi luaran, atau kondisi yang “given”,
terberi, sudah ada sejak awal, yang tidak bisa
kita kendalikan sepenuhnya. Karena itu, Anda
harus rendah hati, realistis, tidak bertindak
membabi-buta, super-optimist. Kita harus
optimis, tetapi tetap dalam kerangka
“precautious optimism.” Optimisme yang hati-
hati. Bukan optimisme yang kebablasan.
Pengertian khusus/mistik. Pengertian mistik
dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini justru
berbeda dengan pengertian awam di atas. Apa
yang dimaksudkan dengan pernyataan Ibn
Ataillah ini ialah bahwa kehendak seorang yang
telah sampai kepada maqam ma’rifat
(memahami inti wujud/ketuhanan) akan
bersesuaian dan beriringan dengan kehendak
Tuhan.

Kehendak sang wali, katakan saja begitu, tidak
bisa mendahului kehendak Tuhan, melainkan
berjalan seiring dengan yang terakhir itu.
Dengan bahasa yang sederhana: seseorang
yang sudah sampai kepada inti realitas,
memahami makna wujud di dunia ini, dia akan
mengerti gerak-gerik alam, tanda-tanda
zaman. Dan dia bisa menyeiringkan kehendak
dirinya dengan kehendak alam itu. Tidak
mendahuluinya, dan tidak teledor, keteter
karena terlambat mengejarnya.

Maulana al-‘Arabi, guru dari guru sufi Maroko
yang mengarang komentar atas al-Hikam, yaitu
Ibn ‘Ajibah (w. 1808 M), berkata: Jika
seseorang yang telah mencapai maqam
fana’ (lebur) dalam nama-nama diri Tuhan
memiliki kehendak yang kuat terhadap sesuatu,
maka sesuatu itu akan terjadi. Sementara
orang yang telah mencapai fana’ (lebur) dalam
dzat atau diri Tuhan, sebelum ia menghendaki
sesuatu, sesuatu itu sudah langsung ada.
Orang Jawa bilang: “weruh sakdurunge
winarah”, tahu sebelum tahu.

Dengan bahasa yang sederhana, seorang yang
arif, bijak, mencapai pengetahuan tentang inti
wujud dan ketuhanan, ia bisa mengubah
sesuatu dengan kehendaknya. Ia bisa
menggerakkan benda-benda di sekelilingnya,
seolah-olah benda itu adalah “hamba” yang
bisa ia kendalikan dengan kehendaknya
sendiri.

Tetapi itu semua terjadi karena kehendak
Tuhan, bukan kehendak dia. Kehendak sang
arif itu tidak berjalan sendiri, melampaui
kehendak Tuhan, melainkan berjalan seiring.
Dalam sebuah hadis disebutkan: “Jika Aku
(Tuhan) telah menjadikan seorang hamba
menjadi kekasihKu, maka Aku akan menjadi
telinga, mata, tangan dan pendukungnya;
apapun yang ia minta, Aku akan memberikan
kepadanya.”

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari
kebijaksanaan Ibn Ataillah ini?
Seorang hamba harus berusaha sekeras
mungkin untuk bisa mencapai maqam ma’rifat,
mengetahui hukum dan inti sesuatu. Orang
yang mencapai tahap pengertian ini, akan bisa
mengerti kehendak Tuhan, dan kemudian akan
berjalan seiring dengannya.

Dalam bahasa sains, jika Anda mengerti hukum
alam, maka Anda sama saja dengan mengerti
kehendak Tuhan. Anda bisa bekerja seiring dan
berbarengan dengan kehendak Tuhan itu.
Anda bisa mengubah sesuatu, bukan dalam
kerangka melawan takdir, tetapi justru
memanfaatkan takdir untuk kemaslahatan
Anda sendiri.

Kalau mau, Anda bisa mengatakan (seperti
kata-kata sahabat Umar): Melawan takdir

dengan takdir![]

No comments: