Sunday 18 October 2015

KAJIAN KITAB HIKAM 2

Artikel ini saya copas dari fp Kang Ulil Abshar Abdalla di facebook, semoga barokah....


ALLOHUMMA SHOLLI ALA MUHAMMAD WA SALLIM
Ulil Abshar-Abdalla


NGAJI HIKAM #2


Bismillahirrahmanirrahim

Mari, sebelum ngaji kita mulai, kita hadiahkan Al-Fatihah kepada pengarang Kitab Hikam Syekh Ataillah, kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan kepada ibu saya Nyai Salamah.

Mari kita mulai Ngaji Hikam untuk seri kedua.
---------------------


MANUSIA KAMAR ATAU MANUSIA SOSIAL


Ibn Ataillah berkata:

Iradatuka al-tajrid ma’a iqamatillahi iyyaka fil asbab min al-syahwah al-khafiyyah. Wa iradatuka al-asbab ma’a iqamatillahi iyyaka fi al-tajrid inhitat ‘an al-himmah al-‘aliyyah.

Terjemahannya: Kehendakmu untuk tajrid (mengisolir diri, tidak melakukan usaha), sementara Tuhan menempatkanmu pada maqam seorang yang harus berusaha, itu adalah sebentuk syahwat atau kesenangan nafsu yang tersembunyi.
Sebaliknya, kehendakmu untuk ikut-ikutan berusaha, padahal Tuhan memberimu maqam sebagai orang yang seharusnya tajrid, itu adalah sebentuk kemerosotan kelas.

Kebijaksanaan Ibn Ataillah ini bisa dipahami secara awam, bisa juga secara khusus.



Pengertian awam. Manusia pada dasarnya ada dua jenis; ada manusia kamar, ada manusia

sosial. Manusia kamar ialah manusia yang maqam atau posisi ontologisnya adalah
sebagai pemikir, sebagai pengolah dan produsen ide-ide, sebagai pertapa yang
menjaga kesucian diri. Manusia seperti ini bertugas seperti, istilah Arif Budiman dulu,
“cendekiawan yang berumah di angin”.

Orang yang maqamnya seperti ini, tak akan memiliki “passion” atau kesenangan untuk
terlibat dalam kehidupan sosial. Orang seperti ini oleh kalangan sufi disebut sebagai orang
bermaqam tajrid.
Sebaliknya, ada orang yang maqamnya adalah “manusia sosial”. Tugas manusia seperti ini
adalah hidup di tengah gebalau kehidupan sosial yang ramai, penuh dengan gelora
perjuangan. Dia tak cocok untuk kehidupan kontemplatif seperti yang dijalani oleh manusia
jenis pertama.

Ibn Ataillah mempunyai istilah khusus untuk manusia jenis kedua ini. Yaitu, manusia-sebab,“men/women of causes”. Yakni: manusia yang tugasnya adalah berurusan dengan usaha
yang melibatkan hukum sebab-akibat. Orang-orang ini harus bekerja, ikhtiar untuk “mamayu
hayuning bawana”, jika mau memakai istilah dalam filsafat Jawa. Yaitu: memperindah dunia.

Hannah Arendt, filsuf Yahudi itu, punya istilah yang agak-agak mirip. Ada dua jenis
kehidupan, menurut dia -- vita activa dan vita contemplativa. Yang pertama adalah
kehidupan aktif: bekerja. Yang kedua adalah kehidupan kontemplatif: merenung, berpikir,
meditasi, menyepi.

Masing-masing orang harus hidup sesuai dengan maqamnya. Orang yang mestinya
bekerja tetapi menjalani kehidupan kontemplatif, dia sebetulnya tidak menjalani
kehidupan yang mulia. Dia hanya mengikuti hawa nafsunya sendiri. Cuma, ini hawa nafsu
yang lembut, tersembunyi. Bukan hawa nafsu yang terang-terangan seperti menghendaki
kemewahan material. Sebaliknya dia yang mestinya ada di maqam “manusia kamar”, tetapi ikut-ikutan terjun ke dalam “vita activa”, dia mengalami kemerosotan kelas.
Pengertian khusus/mistik. Ini adalah pembahasan dalam ilmu tasawwuf atau mistik
yang sangat pelik. Seseorang yang masuk dalam kehidupan sufi, menikmati ketenangan
batin di sana, biasanya menghadapi dilema ini:

Apakah saya boleh tinggal dalam ketengangan batin ini, menjadi “manusia kamar” yang asyik; ataukah saya tetap harus bergaul dengan masyarakat, bekerja bersama mereka?
Jawaban kaum sufi: Masing-masing orang punya maqamnya sendiri-sendiri. Ada orang
yang maqamnya adalah tajrid, menjadi manusia kontemptalif-spiritualis; ada
manusia-sebab yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Suatu hari, ada seseorang yang hendak menjalani kehidupan meditatif, menjadi sufi,
lalu mendatangi sufi besar Mesir asal Murcia, Spanyol, Abu al-Abbas al-Mursi (w. 1287 M).
Sebelum sempat dia mengatakan maksud kedatangannya, Syekh Mursi sudah
mendahuluinya dengan sebuah pembicaraan yang isinya berikut ini.

Beberapa hari sebelumnya, kata Syekh Mursi, ada seorang ahli ilmu-ilmu lahir (ilmu syariat) datang kepadaku. Dia sudah sedikit mencicipi ilmu batin, lalu memutuskan untuk
meninggalkan pekerjaannya sebagai guru ilmu- ilmu lahir. Lalu aku berkata kepadanya: Bukan begitu caranya. Tetaplah kamu dalam posisi yang telah diberikan Tuhan kepadamu.
Pengalaman mistik yang kami miliki akan bisa kamu capai dengan jalan yang kamu tempuh
sekarang ini.

Apa pelajaran yang bisa kita petik dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini? Ialah bahwa
masing-masing orang memiliki kelasnya masing-masing. Orang Hindu punya istilah
dharma. Masing-masing orang pa sendiri-sendiri. Orang harus hidup sesuai dengan dharma, maqam, dan kelas-kelasnya.

Jangan menyalahi kodrat, kata orang-orang. Setiap orang tahu, dalam hatinya yang
terdalam, ada di maqam mana dia. Orang tak boleh iri kepada maqam orang lain. Masing- masing orang, seperti dikatakan wali besar Syekh Abu al-Abbas al-Mursi itu, akan mencapai pengalaman kebahagiaan dan ketenangan batin melalui jalan dan maqam yang diberikan oleh Tuhan kepadanya.


Dengan kata lain, kebahagiaan bisa kita peroleh jika kita hidup sesuai dengan “the real
self”, hakikat diri kita masing-masing. You are going to be happy when you become who you are.[]

No comments: