Artikel ini saya copas dari fp Kang Ulil Abshar Abdalla di facebook, semoga barokah....
ALLOHUMMA SHOLLI ALA MUHAMMAD WA SALLIM |
Ulil
Abshar-Abdalla
NGAJI
HIKAM #2
Bismillahirrahmanirrahim
Mari,
sebelum ngaji kita mulai, kita hadiahkan Al-Fatihah kepada pengarang Kitab Hikam Syekh
Ataillah, kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan kepada ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita
mulai Ngaji Hikam untuk seri kedua.
---------------------
MANUSIA KAMAR ATAU MANUSIA SOSIAL
Ibn Ataillah berkata:
Iradatuka
al-tajrid ma’a iqamatillahi iyyaka fil asbab min al-syahwah al-khafiyyah. Wa iradatuka al-asbab ma’a iqamatillahi iyyaka fi
al-tajrid inhitat ‘an al-himmah al-‘aliyyah.
Terjemahannya:
Kehendakmu untuk tajrid (mengisolir
diri, tidak melakukan usaha), sementara
Tuhan menempatkanmu pada maqam
seorang yang harus berusaha, itu adalah
sebentuk syahwat atau kesenangan nafsu
yang tersembunyi.
Sebaliknya,
kehendakmu untuk ikut-ikutan berusaha,
padahal Tuhan memberimu maqam sebagai
orang yang seharusnya tajrid, itu adalah
sebentuk kemerosotan kelas.
Kebijaksanaan
Ibn Ataillah ini bisa dipahami secara awam, bisa juga secara khusus.
Pengertian
awam. Manusia pada dasarnya ada dua
jenis; ada manusia kamar, ada manusia
sosial.
Manusia kamar ialah manusia yang maqam
atau posisi ontologisnya adalah
sebagai
pemikir, sebagai pengolah dan produsen
ide-ide, sebagai pertapa yang
menjaga
kesucian diri. Manusia seperti ini bertugas
seperti, istilah Arif Budiman dulu,
“cendekiawan
yang berumah di angin”.
Orang
yang maqamnya seperti ini, tak akan memiliki “passion” atau kesenangan untuk
terlibat
dalam kehidupan sosial. Orang seperti ini oleh kalangan sufi disebut sebagai orang
bermaqam
tajrid.
Sebaliknya,
ada orang yang maqamnya adalah “manusia
sosial”. Tugas manusia seperti ini
adalah
hidup di tengah gebalau kehidupan sosial
yang ramai, penuh dengan gelora
perjuangan.
Dia tak cocok untuk kehidupan kontemplatif
seperti yang dijalani oleh manusia
jenis
pertama.
Ibn
Ataillah mempunyai istilah khusus untuk manusia jenis kedua ini. Yaitu, manusia-sebab,“men/women
of causes”. Yakni: manusia yang tugasnya
adalah berurusan dengan usaha
yang
melibatkan hukum sebab-akibat. Orang-orang ini harus bekerja, ikhtiar
untuk “mamayu
hayuning
bawana”, jika mau memakai istilah dalam
filsafat Jawa. Yaitu: memperindah dunia.
Hannah
Arendt, filsuf Yahudi itu, punya istilah yang agak-agak mirip. Ada dua jenis
kehidupan,
menurut dia -- vita activa dan vita contemplativa.
Yang pertama adalah
kehidupan
aktif: bekerja. Yang kedua adalah kehidupan
kontemplatif: merenung, berpikir,
meditasi,
menyepi.
Masing-masing
orang harus hidup sesuai dengan
maqamnya. Orang yang mestinya
bekerja
tetapi menjalani kehidupan kontemplatif,
dia sebetulnya tidak menjalani
kehidupan
yang mulia. Dia hanya mengikuti hawa
nafsunya sendiri. Cuma, ini hawa nafsu
yang
lembut, tersembunyi. Bukan hawa nafsu yang terang-terangan seperti menghendaki
kemewahan
material. Sebaliknya dia yang mestinya ada di maqam “manusia kamar”, tetapi ikut-ikutan terjun ke
dalam “vita activa”, dia mengalami
kemerosotan kelas.
Pengertian
khusus/mistik. Ini adalah pembahasan
dalam ilmu tasawwuf atau mistik
yang
sangat pelik. Seseorang yang masuk dalam
kehidupan sufi, menikmati ketenangan
batin di
sana, biasanya menghadapi dilema ini:
Apakah saya
boleh tinggal dalam ketengangan batin ini, menjadi “manusia kamar” yang asyik; ataukah saya tetap harus bergaul dengan masyarakat, bekerja bersama mereka?
Jawaban
kaum sufi: Masing-masing orang punya
maqamnya sendiri-sendiri. Ada orang
yang
maqamnya adalah tajrid, menjadi manusia
kontemptalif-spiritualis; ada
manusia-sebab
yang hidup di tengah-tengah masyarakat.
Suatu
hari, ada seseorang yang hendak menjalani kehidupan meditatif, menjadi sufi,
lalu
mendatangi sufi besar Mesir asal Murcia, Spanyol, Abu al-Abbas al-Mursi (w. 1287 M).
Sebelum
sempat dia mengatakan maksud kedatangannya,
Syekh Mursi sudah
mendahuluinya
dengan sebuah pembicaraan yang
isinya berikut ini.
Beberapa
hari sebelumnya, kata Syekh Mursi, ada seorang ahli ilmu-ilmu lahir (ilmu syariat) datang
kepadaku. Dia sudah sedikit mencicipi ilmu batin, lalu memutuskan untuk
meninggalkan
pekerjaannya sebagai guru ilmu- ilmu
lahir. Lalu aku berkata kepadanya: Bukan begitu caranya. Tetaplah kamu dalam posisi yang telah diberikan Tuhan kepadamu.
Pengalaman
mistik yang kami miliki akan bisa kamu
capai dengan jalan yang kamu tempuh
sekarang
ini.
Apa
pelajaran yang bisa kita petik dari kebijaksanaan Ibn Ataillah ini? Ialah bahwa
masing-masing
orang memiliki kelasnya masing-masing.
Orang Hindu punya istilah
dharma.
Masing-masing orang pa sendiri-sendiri.
Orang harus hidup sesuai dengan
dharma, maqam, dan kelas-kelasnya.
Jangan
menyalahi kodrat, kata orang-orang. Setiap orang tahu, dalam hatinya yang
terdalam,
ada di maqam mana dia. Orang tak boleh
iri kepada maqam orang lain. Masing- masing
orang, seperti dikatakan wali besar Syekh
Abu al-Abbas al-Mursi itu, akan mencapai
pengalaman kebahagiaan dan ketenangan
batin melalui jalan dan maqam yang
diberikan oleh Tuhan kepadanya.
Dengan
kata lain, kebahagiaan bisa kita peroleh jika kita hidup sesuai dengan “the real
self”,
hakikat diri kita masing-masing. You are going to be happy when you become who you are.[]
No comments:
Post a Comment