Thursday 19 November 2015

KAJIAN KITAB HIKAM 43

NGAJI HIKAM 43 OLEH KANG ULIL ABSHAR ABDALLA

Bismillahirrahmanirrahim
Mari kita mulai Ngaji Hikam #43 ini dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai. Bismillah.
______________________
JANGAN SEKALI-KALI BERPALING DARI TUHAN
Syekh Ibn Ataillah berkata:

La tata'adda niyyatu himmatika ila ghairihi, fa al-karimu la tatakhattahu al-amalu. La tarfa'anna ila ghairihi hajatan huwa muriduhu 'alaika. Fa-kaifa yurfa'u ila ghairihi ma kana huwa lahu wadli'an.

Terjemahan:
Janganlah sekali-kali niatmu melampaui Dia dan berpaling kepada orang lain. Sebab, Tuhan yang murah hati tak akan membuat kecewa suatu harapan (yang diarahkan kepada-Nya). Janganlah sekali-kali engkau memanjatkan kepada orang lain suatu harapan yang hanya bisa dipenuhi oleh Tuhan. Bagaimana mungkin sebuah harapan dipanjatkan kepada orang lain, padahal Dia lah yang menciptakannya?

Mari kita telaah kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.

Pengertian umum. Salah satu dimensi penting dalam kehidupan seorang beriman adalah doa atau memanjatkan suatu harapan kepada Tuhan. Sebagaiamana pernah dijelaskan dengan panjang lebar oleh Syekh Ibn Ataillah dalam bagian yang terdahulu, doa kita arahkan kepada Tuhan bkan karena semata-mata kita berharap apa yang menjadi isi doa kita itu terkabulkan. Kita berdoa karena itulah pertanda bahwa kita adalah seorang hamba. Doa adalah indikasi kedudukan kita sebagai makhluk yang sudah seharusnya mengabdi kepada Sang Khalik.

Sikap yang tepat dalam kehidupan seorang beriman adalah menghindarkan diri sebisa mungkin untuk bergantung kepada selain Tuhan. Tempat bergantung yang paling baik adalah Tuhan. Tak ada yang lain. Dengan menhindarkan diri dari ketergantungan kepada orang lain selain Tuhan kita akan bisa mewujudkan sebuah sikap yang secara mentah lebih sehat: yaitu mandiri, dan hanya bergantung kepada Tuhan saja. Sebab, ketergantung kita kepada orang lain akan menciptakan ketergantungan yang mengurangi otonomi kita.

Hidup yang sehat adalah hidup yang otonom: tak bergantung secara berlebihan kepada kebaikan orang lain. Dalam situasi tertentu, kadang-kadang ketergantungan semacam itu membuat kita merasa menjadi "budak" bagi orang lain. Kita menjadi berhutang "budi" kepada orang lain. Kita merasa tidak nyaman. Kita merasa sungkan. Dengan melepaskan diri dari ketergantungan kepada orang lain, dan hanya mengarahkan ketergantungan semata-mata kepada Tuhan saja, kita menjadi merdeka.

Salah satu tujuan pokok menjalani kehidupan mistik/sufi adalah menata sikap hidup yang tepat agar kita menjadi manusia yang merdeka secara rohani, kejiwaan, tidak menjadi "budak kebaikan" orang lain yang bisa melumpuhkan mental kita. Hidup yang membahagiakan bisa kita capai saat kita merasa merdeka dari ketergantungan kepada orang lain. Perasaan merdeka itulah yang membuat kita tak takut berkata benar kepada orang lain manakala diperlukan.

Ini bukan berarti bahwa kita tak boleh meminta pertolongan dari orang lain, bahwa kita tak boleh menjalani kehidupan gotong royong, saling menolong dalam masyarakat. Bukan itu yang dimaksudkan di sini. Kehidupa tolong menolong tentu sangta baik. Tetapi tergantung pada pertolongan orang lain sehingga menghilangkan rasa kemerdekaan kita sendiri sebagai manusia, itulah yang harus dihindari. Jangan sampai pertolongan orang lain menjadi satu-satunya tempat bergantung kita.

Sebagaimana dikatakan oleh Imam Ghazali: al-insan 'abd al-ikhsan. Manusia bisa menjadi hamba bagi kebaikan orang lain. Hutang budi yang berlebihan bisa membiat kita secara mental kehilangan harga diri dan menjadi "budak" dari orang lain.

Pengertian khusus. Sebagaimana kita ketahui, segala hal selain Tuhan adalah khayalan semata, kenyataan semu. Jika dalam satu titik dalam kehidupan kita, kita merasakan sutau keadaan yang kurang menyenangkan, merasakan penderitaan, merasakan suatu "hajat" atau kebutuhan yang begitu mendesak, maka kita harus bisa menata sikap secara positif dan menghadapi keadaan itu dengan sikap rela. Bukan mencaci, dan lalu berpaling dari Tuhan. Sebab, Tuhan dengan kemurahan dan kasih-sayangnya tak akan mengecewakan harapan kita.

Pelajaran yang hendak disampaikan oleh Syekh Ibn Ataillah di sini ialah sederhana saja: jangan berpaling dari Tuhan, walau Anda berhadapan dengan situasi yang sulit. Hanya dengan sikap semacam inilah kita bisa terus bersikap positif, optimis dan tetap berharap.
Sebab harapanlah yang akan membuat manusia terus "terapung" di permukaan, tidak tenggelam

No comments: