Sunday 8 November 2015

KAJIAN KITAB HIKAM 32

NGAJI HIKAM seri yang ke 32 0leh Kang Ulil Abshar Abdalla

Bismillahirrahmanirrahim
Mari kita mulai Ngaji Hikam #31 dengan menghadiahkan Fatehah kepada Syekh Ibn Ataillah (qs), kepada ayah dan guru saya Kiai Abdullah Rifai, dan ibu saya Nyai Salamah.
Mari kita mulai. Bismillah.
________________________
AWAL YANG BAIK MENENTUKAN HASIL AKHIR YANG BAIK

Syekh Ibn Ataillah berkata:
Min 'alamat al-najihi fi al-nihayat al-ruju' ila 'l-Lahi fi al-bidayat. Man asyraqat bidayatuhu asyraqat nihayatuhu.
Terjemahan:
Tanda-tanda seseorang yang akan berhasil di ujung perjalanan ialah: dia bersandar dan kembali kepada Tuhan pada permulaan pekerjaan. Barangsiapa yang awal perjalanannya terang-benderang, maka akhir perjalanannya juga akan demikian.

Mari kita telaah kebijaksanaan Ibn Ataillah ini dengan dua pengertian: umum dan khusus.

Pengertian umum. Secara sederhana, kebijaksanaan Syekh Ibn Ataillah ini bisa kita pahami dengan ungkapan yang sudah sering kita kenal selama ini: permulaan yang baik menentukan ujung sebuah perjalanan. Kata pepatah Arab: kama takun al-bidayah, takun al-nihayah. Bagaimana permulaan, itulah yang akan menentukan sebuah akhir. Awal yang baik akan menentukan akhir yang baik juga. Begitu juga sebaliknya.

Jika sejak awal seseorang sudah benar menata hati di niatnya, yaitu melakukan sesuatu bukan untuk pamrih-pamrih yang sifatnya sementara saja, melainkan hanya untuk Tuhan semata, maka itu menjadi pertanda keberhasilan pekerjaannya.

Dalam Islam, kedudukan "niat" sangat penting sekali. Niat bukan sekedar "krentek" atau gerakan hati yang menghendaki sesuatu. Bagi seorang arsitek, "niat" adalah semacam gambar sebuah bangunan, semacam "blue print", rencana awal yang menentukan seluruh pekerjaan pada tahap berikut.

Karena itu, ada kaidah fikih yang berbunyi: niyyat al-mu'min khairun min 'amalihi. Niat seorang beriman lebih baik dari pada pekerjaannya itu sendiri. Ini buka berarti bahwa pekerjaan dan eksekusi atas niat tidak penting. Bukan. Melainkan: tanpa niat yang benar, pekerjaan bisa berlangsung tidak karuan, dan bahkan bisa destruktif, baik bagi pelaku pekerjaan itu atau orang lain yang ada di sekitar dia.

Jika niat sudah bisa ditata dengan benar, ini sama saja dengan seorang insinyur sipil yang membangun suatu bangunan dengan gambar yang jelas dan detil. Separoh lebih dari kebarhasilan pekerjaannya ditentukan oleh "niat" alias gambar yang benar.
Karena itulah, awal yang baik, menentukan akhir. Jika kita mulai segala sesuatu dengan niat untuk mencari kerelaan Tuhan, bukan pamrih-pamrih yang lain, maka kita sudah menjamin keberhasilan bagi pekerjaan kita.

Pengertian khusus. Bagi seorang yang hendak masuk ke dalam kehidupan sufi, hal yang paling penting untuk ditata terlebih dahulu adalah niat. Jika seseorang masuk dan menjalani kehidupan sufi untuk, misalnya, mencari "efek sosial", agar dipandang "keren" oleh orang-orang di sekitarnya (sebab, sekarang ini, di kalangan tertentu, menjadi "sufi" adalah semacam "mode" atau "fashion" yang dipandang keren!), maka ia sudah mencicil kegagalannya sendiri sejak awal.

Jika seseorang menjalani kehidupan sufi agar meraih pengaruh sosial-politik yang luas (sebab, sekarang, menjadi "tokoh sufi" bisa memiliki pengaruh politik yang luas!), maka dia mungkin saja akan memperoleh yang ia tuju itu. Tetapi perkara apakah dia akan mencapai pengetahuan tentang rahasia ketuhanan, ma'rifat yang sesungguya, tentu perkara lain. Jika niatnya adalah untuk tujuan duniawi, maka dia telah menutup jalan menuju kepada keberhasilan, "wusul", sampai kepada Tuhan.

Jika engkau berniat melakukan sesuatu, maka sebaiknya kita menata agar kehendak kita berjalan seiring dengan kehendak Tuhan. Jika kita mempu menata niat sepeti ini, memasang niat agar lusus seiring dengan kehendak Tuhan, maka kita akan merasa ringan, dan tidak menderita tekanan karena risau akan berhasil tidaknya pekerjaan kita. Apapun yang terjadi, akan kita terima sebagai bagian dari kehendak kita.

Sekali lagi, kita janglah memaknai ini sebagai sikap pasif menerima saja ketentuan Tuhan. Sebagaimana sudah kita ulas dalam bagian yang lalu: ikhtiar manusia tetaplah tak terhindarkan. Bahkan suatu keharusan. Tetapi seraya kita berikhitiar, kita harus menata niat agar ikhtiar kita itu semata-mata kita sandarkan hasil akhirnya pada Tuhan semata.

Pelajaran yang bisa kita petik dari sini: Kita harus bisa membaca "kehendak alam", ketentuan Tuhan, dan bekerja menyesuaikan diri dengan itu. Jika sejak awal kita sudah bisa menata hati kita seperti ini, kita akan berjalan dengan ringan. Kita bekerja keras, tetapi tanpa beban yang berlebihan mengenai hasil akhir. Sebab kerapkali Tuhan mengajari kita lewat proses, bukan lewat hasil akhir.[]

No comments: