Friday 15 August 2014

KISAH MBOK YEM

Oleh: A. Mustofa Bisri

Alhamdulillah, sebelum wukuf di
Arafah aku bisa menemukan ibu
dan adikku di pondokan mereka
di Mekkah. Mereka tinggal di kamar yang sempit
bersama 4 pasang suami-istri. Masing-masing
menempati kapling semuat dua orang yang hanya
diberi sekat kopor-kopor. Di tengah-tengah ada
sedikit ruang kosong yang dipenuhi bermacam-
macam makanan dan peralatan makan. Ibu
memperkenalkan saya kepada kawan-kawan
kelompoknya.

Ini anak saya yang belajar di Mesir;" katanya
bangga. "Sudah empat tahun tidak pulang."
Malu-malu saya menyalami mereka satu per
satu. Di antara mereka itu ada dua sejoli yang
sudah sangat tua. Lebih tua dari ibu. Yang laki-
laki dan dipanggil Mbah Joyo lebih tua lagi.
Beberapa tahun lebih tua dari Mbok Yem, istrinya.
Berbeda dengan Mbah Joyo yang agak pendiam,
Mbok Yem orangnya ramah dan banyak bicara,
mendekati ceriwis.

Yang kemudian menarik perhatian, sekaligus
membuatku agak geli, adalah kemesraan kedua
sejoli itu. Mereka laiknya pengantin baru saja.
Seperti tidak menghiraukan senyum-senyum dan
lirikan-lirikan menggoda kawan-kawannya yang
memperhatikan mereka, Mbok Yem menggelendot
manja di pundak Mbah Joyo.

"Pak, kita beruntung ya," katanya sambil
mengelus rambut suaminya yang putih bagai
kapas. "Nak Mus ini belajar agama di Mesir, dia
bisa menjadi muthawwif kita dan membimbing
manasik kita." Lalu ditujukan kepadaku, "Bukan
begitu, Nak Mus?"

Aku mengangguk saja sambil tersenyum.
"Kalau perlu Nak Mus pasti tidak keberatan
mengantar kita ke mana-mana," katanya lagi.
"Nanti Mbok Yem bikinkan sayur asem kesukaan
Mbah Joyo. Mbok Yem paling ahli bikin sayur
asem. Tanyakan Mbah Joyo ini, lidahnya sampai
njoget jika Mbok Yem masak sayur asem."
"Tapi dia juga baru sekarang ini ke Mekkah,"
tukas ibuku. "Jadi di sini pengalamannya tidak
lebih banyak dari kita-kita ini."

"Ya, tapi Nak Mus kan pasti pandai bahasa Arab;
jadi tak akan kesasar dan bisa menolong kita jika
belanja. Kita tak perlu lagi menawar-nawar pakai
bahasa isyarat, kaya orang bisu."
Orang-orang pada ketawa.

"Tapi, Nak Mus ini kan tidak tinggal di sini
bersama kita," kata salah seorang jamaah sambil
menyodorkan segelas teh. "Terima kasih!" aku
menyambut teh panas yang disodorkan.
"Ya, Nak Mus tinggalnya di mana?" tanya yang
lain.

"Saya tinggal bersama kawan-kawan mahasiswa
yang lain," kataku, "tapi tidak jauh dari sini kok.
Saya bisa sering kemari."

"Nah, Pak, nanti kita bisa jalan-jalan ke mana
saja tanpa khawatir," kata Mbok Yem lagi sambil
memijit-mijit lengan Mbah Joyo. "Kita punya
pengawal yang masih muda dan bisa berbahasa
Arab."

"Kamu ini bagaimana," Mbah Joyo yang dari tadi
hanya diam dan senyum-senyum tiba-tiba
angkat bicara. "Nak Mus ke sini ini kan bukan
untuk kamu saja. Tapi terutama untuk ibu dan
adiknya yang sudah lama tidak bertemu. Mereka
pasti ingin berkangen-kangenan."

"Ya, saya tahu," sahut Mbok Yem sambil mleroki
suaminya. "Saya juga tidak bermaksud
menguasai Nak Mus sendiri. Maksud saya kita
bisa nginthil, ikut bersama-sama ibu dan mbak
bila mereka ke masjid atau ke mana saja."
"Enak saja!"
"Sudah, sudah," kata ibuku memotong. "Sudah
jam setengah sebelas. Ayo kita siap-siap ke
masjid!"
***

Alhamdulillah, sejak di Arafah saya bisa
bergabung bersama rombongan ibu. Malam
menjelang wukuf, kami sudah sampai ke padang
luas yang menjadi seperti lautan tenda itu.
Beberapa orang tampak letih. Justru Mbok Yem
dan Mbah Joyo --anggota rombongan yang
paling tua-- sedikit pun tidak memperlihatkan
tanda-tanda kelelahan. Bahkan pancaran
semangat dua sejoli ini tampak jelas seperti
mempermuda usia mereka. Ketika paginya, saya
ajak mereka keluar kemah untuk melihat suasana
Arafah yang begitu luar biasa. Meski mentari
belum begitu mengganggu dengan sengatan
panasnya, dia telah memberikan cahayanya yang
benderang pada hamparan putih Arafah. Sejauh
mata memandang, putih-putih tenda dan putih-
putih kain ihram mendominasi pemandangan. Di
sana-sini bercuatan bendera-bendera negara atau
sekadar tanda rombongan jamaah tertentu. Dari
kejauhan tampak "bukit manusia" dengan puncak
sebuah tugu yang juga berwarna putih. "Apakah
itu Jabal Rahmah?"

"Ya, itulah Jabal Rahmah."

"Apa betul itu tempat pertemuan pertama Bapa
Adam dengan Ibu Hawa setelah mereka turun dari
sorga?"

"Wallahu a'lam ya, tapi memang banyak yang
percaya."

"Apa kita akan ke sana?"

"Ah, tak perlu. Lagi pula itu jauh. Kelihatannya
saja dekat. Wukuf yang penting di Arafah,
beristighfar dan berdoa. Di sini saya kira kita bisa
lebih khusyuk."

Ketika kembali ke kemah, tampaknya kawan-
kawan jamaah masih membawa kesan mereka
dari melihat panorama yang belum pernah
mereka saksikan itu.

"Orang kok sekian banyaknya itu dari mana saja
ya?"

"Ya, ada yang hitam sekali, putih sekali, yang
coklat, malah ada yang seperti tomat kemerah-
merahan."

"Sekian banyak orang kok pakaiannya putih-putih
semua, masya Allah!"

Semua yang berbicara itu mengarahkan
pandangannya kepadaku, seolah-olah komentarku
memang mereka tunggu. Atau ini hanya
perasaanku saja. Tapi aku bicara juga. "Kata guru
saya, inilah gambaran mini nanti saat kita di
padang Makhsyar, ketika semua orang
dibangunkan dari alam kubur. Tak ada kaya tak
ada miskin; tak ada orang besar tak ada orang
kecil; tak ada bangsawan tak ada jelata;
semuanya sama. Semuanya digiring di padang
terbuka seperti di Arafah ini. Bedanya, di sini
masih ada tenda dan naungan-naungan lain; di
sana kelak, tidak. Masing-masing orang akan
dimintai pertanggungjawaban atas amal
perbuatannya selama hidup di dunia."

Aku berhenti, karena kudengar ada isak tangis
yang semakin lama semakin mengeras. Ternyata
tangis Mbok Yem di pangkuan Mbah Joyo yang
juga terlihat berkaca-kaca kedua matanya. Seisi
kemah pun terdiam. Sampai datang seorang
petugas kloter menyuruh semuanya bersiap-siap
untuk acara salat bersama --Dhuhur dan Asar--
dan melanjutkan ritual wukuf dengan berdzikir
dan berdoa.

Aku perhatikan, sejak selesai acara salat dan
berdoa bersama, hingga akhirnya masing-masing
berdzikir dan berdoa sendiri-sendiri, Mbok Yem
dan Mbah Joyo terus menangis dan hanya
mengulang-ulang astaghfirullah, astaghfirullah...
Memohon ampun kepada Allah. Tak terdengar
kedua sejoli tua ini berdzikir atau berdoa yang
lain.
***

Malam ketika arus air bah kendaraan dan
manusia mengalir dari Arafah ke Muzdalifah dan
Mina, di atas bus kami sendiri, hanya terdengar
talbiyah dan takbir. Kecuali sepasang mulut yang
masih terus beristighfar. Mulut Mbok Yem dan
Mbah Joyo.

Menjelang dini hari kami sampai wilayah
Muzdalifah. Dari kejauhan, kerlap-kerlip lampu
tampak semakin memperindah panorama
Masy'aril Haram. Bus kami berhenti dan
rombongan berhamburan turun dalam gelap,
mencari batu-batu kerikil untuk melempar
Jamrah. Ibu aku minta tetap di bus, aku dan
adikku saja yang turun. Yang lain ternyata turun
semua. Beberapa di antaranya ada yang sudah
siap dengan lampu senter kecil dan kantong kain
tempat batu-batu kerikil. Di sana-sini terlihat
beberapa kendaraan juga sedang parkir,
menunggu para penumpangnya mencari kerikil.

"Jangan jauh-jauh!" terdengar suara ketua
rombongan memperingatkan. Orang-orang tidak
mau mendengarkan. Bukan karena apa-apa.
Mereka sudah telanjur tidak simpati kepada
petugas yang menurut mereka hanya pandai
bicara saja. Tak pernah ngurus jamaah. Menemui
jamaah hanya kalau mau menarik pungutan ini-
itu yang tidak jelas peruntukannya.

Tapi ketika sudah cukup lama dan masih banyak
yang ke sana-kemari, aku dan beberapa orang
yang sudah dari tadi selesai mencari kerikil, ikut
membantu ketua rombongan meneriaki dan
bertepuk-tepuk tangan; memperingatkan mereka
agar segera naik kendaraan. Apalagi sopir bus --
orang Mesir-- sudah ngomel-ngomel terus sambil
naik-turun bus, tidak sabar. Apalgi kendaraan-
kendaraan yang lain pun sudah cabut bersama
para penumpangnya menuju Mina.

Mereka akhirnya kembali juga naik bus, meski
ada di antara mereka yang sambil menggerutu,
"Sopir kok didengerin. Ini kan ibadah. Di sini
aturannya kita kan menginap. Mengapa buru-
buru?"

"Sudahlah, mungkin si sopir mempertimbangkan
padatnya lalu-lintas, takut terlambat sampai
Mina," aku mencoba menyabarkan si
penggerutu."Lagi pula kita kan di sini sudah
melewati jam 12. Jadi sudah terhitung menginap."
Tiba-tiba, ketika ketua rombongan baru
mengabsen dan menghitung jamaah, terdengar
Mbok Yem teriak histeris, "Mbah Joyo! Mana
Mbah Joyoku?!" Seketika semuanya baru
menyadari bahwa Mbah Joyo belum kembali.

Mbok Yem meloncat turun dari bus sambil terus
menangis dan menjerit-jerit memanggil-manggil
suaminya. Hampir seisi bus ikut turun. Ibu dan
adikku mengikutiku mengejar Mbok Yem,
mencoba menenangkannya.

"Tenanglah, Mbok Yem," bujuk ibuku sambil
merangkul perempuan tua itu. "Mbah Joyo tidak
ke mana-mana. Kita pasti akan menemukannya."
"Iya, Mbok," adikku ikutan membujuk. "Kalau pun
Mbah Joyo kesasar, di sini ada petugas khusus
yang ahli menemukan orang kesasar.
Percayalah."

"Ya, Mbok, kalau memang betul-betul kesasar,
saya nanti yang akan menghubungi polisi atau
petugas yang lain," aku menimpali. "Mbah Joyo
pasti kembali bersama kita lagi."
Aku sendiri dan mungkin juga ibu dan adikku
tidak begitu yakin dengan apa yang kami
katakan. Namun alhamdulillah, meski masih
terisak dan bicara sendiri, Mbok Yem bisa agak
tenang. "Mbah Joyo itu penyelamatku!" desisnya
berkali-kali.

Kepala rombongan dan beberapa orang lelaki,
termasuk sopir, yang mencoba mencari sampai di
luar area tempat mereka tadi mencari kerikil,
sudah kembali tanpa hasil. Ada yang menduga
Mbah Joyo mungkin kesasar naik kendaraan lain
yang diparkir di dekat mereka. Kita berunding dan
sepakat akan meneruskan perjalanan sambil
mencari. Semua kembali naik bus. Mbok Yem
yang dibimbing ibu dan adikku, sebentar-sebentar
masih menoleh ke arah padang gelap Muzdalifah.
Ibu mengawani duduk dan masih terus merangkul
sahabat tuanya yang kini diam saja itu.
***

Subuh, kami baru sampai Mina. Semuanya
terlihat letih, lebih-lebih Mbok Yem. Untung, tidak
lama mencari, kami telah sampai kemah maktab
kami. Dan, begitu masuk kemah, bukan main
terkejut kami. Kami melihat Mbah Joyo sedang
duduk bersila menyantap buah anggur dari
pinggan besar yang penuh aneka buah-buahan.
(Selain anggur, ada apel, jeruk, pisang, buah pir,
dll).

Mbok Yem langsung menjerit, "Mbah Joyo!" dan
menghambur serta memeluk dan menciumi
suaminya itu sambil menangis gembira. Mbah
Joyo sendiri hanya tersenyum-senyum agak
malu-malu. Sejenak yang lain masih terpaku
keheranan. Baru kemudian meluncur hampir
serempak, "Alhamdulillaaaah!"

Semuanya kemudian merubung Mbah Joyo yang
masih terus dipeluk, dielus, dan diciumi Mbok
Yem. Semuanya gembira.

"Sudah dulu, Mbok Yem," tegur ketua rombongan,
"nanti dilanjutkan kangen-kangenannya. Biarlah
Mbah Joyo bercerita dulu." Kemudian kepada
Mbah Joyo, "Mbah Joyo, Sampeyan ke mana saja
semalam?"

"Iya, Mbah," sela yang lain, "Sampeyan salah
masuk bus ya?!"

"Kok tahu-tahu Mbah Joyo sudah sampai di sini
ini ceritanya bagaimana?" tanya yang lain lagi.
"Mbah Joyo sudah melempar jumrah 'aqabah?"
Mbah Joyo mengangguk sambil tersenyum.
"Lihat, kan saya sudah pakai piyama!" Kemudian
bercerita seperti sedang menceritakan sebuah
dongeng.

"Saya tidak kesasar dan tidak salah naik bus.
Saya bertemu dengan seorang muda yang gagah
dan ganteng dan diajak naik kendaraannya yang
bagus sekali. Saya bilang bahwa saya bersama
rombongan kawan dan istri saya. Dia bilang
sudah tahu dan meyakinkan saya bahwa nanti
saya akan ketemu juga di Mina. Bapak sudah tua,
katanya, nanti capek kalau naik bus. Akhirnya
saya ikut. Sampai Mina saya dibawa kemari,
disuruh istirahat sebentar. Saya tertidur entah
berapa lama. Tahu-tahu menjelang subuh saya
dibangunkan dan diajak melempar jumrah
'aqabah. Setelah itu saya diantar kemari lagi.
Sambil meninggalkan buah-buahan ini, dia pamit
dan katanya sebentar lagi kalian akan datang.
Dan ternyata dia benar."

"Dia itu siapa, Mbah? Orang mana?"

"Wah iya. Saya lupa menanyakannya. Soalnya
begitu ketemu dia itu langsung akrab. Jadi saya
kemudian sungkan dan akhirnya, sampai dia
pergi, saya lupa menanyakan nama dan asalnya."
"Ajaib!"
***

Sesudah selesai melempar jumrah 'aqabah,
rupanya jamaah sudah tak tahan lagi. Mereka
bergelimpangan melepas lelah. Dan tak lama
terdengar suara ngorok dari sana-sini. Kulihat
Mbok Yem sendiri yang tampak masih segar dan
ceria. Dia malah bercerita sambil memijit kaki
ibuku. "Mumpung Mbah Joyo tidur," katanya.
Sementara aku dan adikku ikut mendengarkan
sambil tiduran. Namun tersentuh cerita Mbok
Yem, tak terasa kami berdua akhirnya terduduk
juga.

Rupanya Mbok Yem yakin apa yang dialami Mbah
Joyo itu merupakan anugerah Allah yang ada
kaitannya dengan amal perbuatannya. Dia
menceritakan mengapa dia sampai histeris ketika
Mbah Joyo hilang di Muzdalifah. Mbok Yem
ternyata dulunya adalah WTS --sekarang
"diperhalus" istilahnya menjadi Pekerja Seks
Komersial-- dan Mbah Joyo adalah "langganan"-
nya yang dengan sabar membuatnya sadar,
mengentasnya dari kehidupan mesum itu, dan
mengawininya. Lalu Mbok Yem dan Mbah Joyo
memulai kehidupan yang sama sekali baru. Di
samping mendampingi Mbah Joyo bertani, Mbok
Yem berjualan pecel, kemudian meningkat dengan
membuka warung makan kecil-kecilan. Dan
sebagian dari hasil pekerjaan mereka itu, mereka
tabung sedikit demi sedikit. Bahkan mereka rela
hidup tirakat, demi mencapai cita-cita mereka:
naik haji. Mereka mempunyai keyakinan bahwa
dosa-dosa mereka hanya bisa benar-benar
diampuni, apabila beristighfar di tanah suci, di
Masjidil Haram, di Arafah, di Muzdalifah, dan di
Mina. Seperti kata pak kiai di kampungnya, haji
yang mabrur tidak ada balasannya kecuali surga.
Ternyata baru setelah setua itu, uang yang
mereka tabung cukup untuk ongkos naik haji.

"Alhamdulillah, Mbah Joyo tidak benar-benar
hilang," kata Mbok Yem mengakhiri ceritanya.
"Sehingga kami berdua masih berkesempatan
menyempurnakan ibadah haji kami. Semoga Allah
memudahkan. Setelah selesai nanti, kami ikhlas,
kalau Yang Maha Agung hendak memanggil kami
kapan saja. Syukur di sini, di tanah suci ini."
Mbok Yem mengusap airmatanya, airmata
bahagia, baru kemudian pelan-pelan dibaringkan
tubuhnya di sisi ibuku. ***

No comments: